Lembaga Kemahasiswaan dan Pergerakannya

BAB I
PENDAHULUAN

Ada apa dengan lembaga kemahasiswaan kita hari ini? Mungkin pertanyaan itu bercokol angkuh dalam akal sehat kita. Pertanyaan tersebut merupakan sebuah bentuk keresahan terhadap lemahnya (untuk tidak dibilang mandulnya) lembaga-lembaga kemahasiswaan kita dalam mengawal isu-isu ke-UNMan, serta isu regional maupun nasional. Kenyataan ini seolah memaksa kita untuk mengambil sebuah conclution, bahwa hampir semua lembaga kemahasiswaan kita hari ini mengalami disorientasi. Bahkan yang cukup mencengangkan lagi adalah, lembaga
Teriakan berantas kebodohan, menggelikan ketika keluar dari mulut mahasiswa bodoh! Mahasiswa pemalas yang tidak bebas dari penyakit finansial, absurd ketika berteriak bebaskan rakyat dari kemiskinan! Mahasiswa koruptor jam kuliah, tidak pantas berteriak anti-korupsi! Perlu kita pahami bersama bahwa masyarakat sudah sangat resistence dengan teriakan-teriakan idealis tanpa pelaksanaan yang sering mahasiswa lakukan. Rakyat perlu teladan, rakyat perlu studi kasus, rakyat perlu success story, dan rakyat perlu know-how yang kita milikia. Dengan memanfaatkan berbagai solusi praktis dan nyata yang kita dapatkan dari bangku kuliah maupun pengalaman lapangan, diharapkan dapat membantu masyarakat untuk menyelesaikan masalah yang semakin menumpuk. Pergerakan mahasiswa di era dunia datar harus lebih cerdas, lebih efektif, sehingga energi dan biaya yang kita miliki tidak mubadzir dan bisa dialokasikan untuk berbagai kegiatan lain yang lebih bermanfaat. Teknologi informasi khususnya Internet dengan jumlah pengguna yang semakin besar di Indonesia bisa menjadi satu alternatif teknologi pendukung pergerakan mahasiswa.
Kegiatan kemahasiswaan secara umum menfasilitasi minat dan kapasitas mahasiswa dalam hal pengembangan diri, kemampuan dan bakat, seni dan olah raga, serta kepedulian sosial. Kegiatan kemahasiswaan tersebut difasilitasi dan didukung penuh oleh Lembaga Kemahasiswaan sesuai dengan kebijakan atau pedoman yang telah ditetapkan. Kehidupan kemahasiswaan yang berkualitas tersebut tidak jarang menghasilkan karya mahasiswa yang memperoleh prestasi nasional dan internasional. Juara dunia merakit komputer, juara nasional paduan suara, juara overlocking atau programming, juara kontes robot, juara kontes pasar modal, merupakan beberapa contoh prestasi mahasiswa yang diawali dari keterlibatannya dalam Unit Kegiatan Mahasiswa.
Kemahasiswaan kita cenderung menjadi anjing penjaga (watch dog) kekuasaan. Ketidak berdayaan lembaga mahasiswa kita hari ini, seolah menjadi pembenaran atas matinya gerakan mahasiswa UNM. Lalu dimanakah mereka yang mengatas namakan dirinya aktivis, para pimpinan lembaga fakultas maupun jurusan? Mungkinkah mereka sedang sibuk tawar menawar dengan kekuasaan atau dengan birokrat kampus ini? Ataukah mereka sedang gamang, lalu menjual idealisme dengan mengatas namakan mahasiswa?. Jika demikian, sungguh menjijikan dan patut kita sayangkan.


BAB II
PEMBAHASAN



A. Pergerakan Mahasiswa
Modal dan strategi dasar yang harus dimiliki mahasiswa yang merasa menjadi aktifis pergerakan dapat digambarkan di bawah ini:

• Jaga prestasi akademik
Tugas utama mahasiswa adalah belajar, karena kedudukan di kampus membawa implikasi bahwa mahasiswa adalah seorang akademisi, pemikir, bergerak secara logis dan terukur. Kualitas intelektual kita terukur lewat nilai-nilai dari mata kuliah yang kita ikuti. Ingat bahwa teriakan berantas kebodohan, menggelikan ketika keluar dari mulut mahasiswa bodoh!
• Madzab,
Pemikiran dan strategi pergerakan mahasiswa juga harus dikuasai. Ini bisa dilakukan dengan banyak membaca sejarah pergerakan mahasiswa di berbagai negara lain, membaca biografi tokoh pergerakan mahasiswa dimanapun berada, dan tentu saja yang sangat urgent adalah sejarah dan benang merah pergerakan mahasiswa di Indonesia. Jangan sampai mahasiswa mengulang kesalahan yang dilakukan mahasiswa di era sebelumnya.
• Benih-benih entrepreneurship harus dipupuk sejak masa mahasiswa
Mahasiswa harus berusaha mengatasi masalah finansial, karena kita harus memberikan teladan dan success story kepada masyarakat berhubungan dengan kemandirian finansial. Ingat, mahasiswa pemalas yang tidak bebas dari penyakit finansial, absurd ketika berteriak bebaskan rakyat dari kemiskinan. Kemandirian organisasi dan personelnya dari “sumbangan” pihak lain yang punya kepentingan, membuat independensi organisasi mahasiswa terjaga. Membuat teriakan kita tetap lantang kepada siapapun tanpa pandang bulu.
• Konsistensi perdjoeangan adalah kekuatan karakter aktifis mahasiswa.
Pahami hakekat dari kritik-kritik yang kita lakukan. Logikanya mahasiswa koruptor jam kuliah, tidak pantas berteriak anti-korupsi. Think globally, but act locally.
• Public speaking dan leadership,
faktor penting dalam mempengaruhi orang, karena tidak mungkin mahasiswa dengan leadership dan public speaking yang buruk mengkritik kepemimpinan nasional.
• Opini lewat tulisan
adalah faktor penting dalam teknik mempengaruhi ala mahasiswa. Kualitas pikir seseorang diukur dari kualitas tulisan yang dihasilkan. Pergerakan mahasiswa tak akan lepas dari masalah intelektualitas, daya pikir, daya kreatif dan perilaku berbasis otak yang lain.
Barrack Obama tidak hanya mengandalkan tim suksesnya secara penuh ketika mengupload video pidato dan kampanye lewat YouTube, tapi sebagian diupload oleh para pemilihnya dengan sukarela. Inilah keindahan user-generated content. Influence tactics ala Web 2.0 ini yakin bisa dimanfaatkan oleh aktifis pergerakan mahasiswa, sehingga berbagai opini yang kita keluarkan akan lebih bergema, lebih luas dipahami masyarakat, dan wacana ini akan banyak dinikmati mahasiswa lain karena mahasiswa adalah pengakses Internet di Indonesia yang terbesar. Ingat menurut InternetWorldStats.com pengguna Internet di Indonesia mencapai 20 juta, dan menurut APJII bahkan 28 juta. Pengguna Internet di Indonesia bahkan lebih banyak daripada Spanyol atau negara tetangga kita yang ada di Asia. Tidak ada oplah media massa di Indonesia yang melebih angka 20 atau 28 juta, kecuali TV tentunya yang menurut berbagai data mencapai angka 40 juta.
B. (Lembaga) Mahasiswa Dan Kelelahan Idealisme
Hampir tidak ada yang membantah, jika akhir-akhir ini kondisi lembaga kemahasiswaan di republik ini sedang mengalami titik kejenuhan yang akut. Tak terkecuali di sulsel dan terkhusus di UNM. Kondisi ini seolah menjadi penyakit berkepanjangan yang tak kunjung sembuh. Lantas, gerangan apakah yang membuat lembaga-lembaga mahasiswa yang ada di UNM bernasib demikian? Mungkinkah lembaga-lembaga mahasiswa gagal melakukan transformasi nilai dalam setiap jenjang pengkaderan? Ataukah sebaliknya, para mahasiswanya yang kesulitan menerima apa yang disuapi senior-seniornya dalam ruang-ruang pengkaderan? Atau jangan-jangan kita lupa diri tentang eksistensi kita? Rasa-rasanya masih banyak pertanyaan nakal yang muncul dalam kepala kita masing-masing. Pertanyaan-pertanyaan di atas setidaknya sedikit mewakili dari sedikit kita yang resah.
Boleh jadi (lembaga) mahasiswa kita hari ini mengalami kelelahan idealisme sebagaimana yang disinyalir oleh Syahrin Harahap dalam bukunya yang berjudul Penegakan Moral Akademik di Dalam dan Di Luar kampus. Ada hal yang yang mencolok pasca reformasi 1998, gerakan mahasiswa mengalami tidur yang teramat panjang dan sesekali berkompromi dengan penguasa. Moral force tidak lagi menjadi roh bagi setiap gerakan mahasiswa, pun halnya yang terjadi di unhas. Kita teramat sulit untuk bersatu dan berteriak lantang di depan gedung berlantai delapan, yang berdiri mengangkang dan sesekali mengolok-olok kegirangan ke arah kita, lantaran kita tidak mampu berbuat banyak untuk mahasiswa. Kita juga teramat sulit berkumpul bersama di depan pintu satu sekedar meneriakan keresahan walau hanya sesekali.
Maka tidak heran jika muncul pertanyaan, gerangan apakah yang menyebabkannya demikian? Mengutip Syahrin Harahap (2005), pertama banyak dari mahasiswa mengalami kelelahan idealisme. Banyak dari kita (baca:mahasiswa) yang selama ini ideal, seringkali merasa sendiri, sehingga gerakan yang dibangunnya pun adalah gerakan yang kesepian, lalu menjadi gerakan yang merana. Akhirnya mereka menjadi pragmatis dan ikut arus dan terjebak di dalamnya. Kedua, terjebak dalam sektarianisme. Dalam konteks unhas, fenomena sektarianisme dapat terindikasi dari lemahnya komunikasi antar sesama lembaga mahasiswa tingkat fakultas (BEM/Senat), ditambah lagi dengan arogansi dan eksklusifitas fakultas masing-masing. Hal ini menimbulkan gejala superioritas pada masing-masing lembaga kemahasiswaan. Akibatnya lembaga kemahasiswaan saling berhadap-hadapan dalam mengawal isu serta dalam menyelesaikan permasalahan internal kelembagaan. Padahal, harusnya kita berhadap-hadapan dengan penguasa yang zalim atau pengelola kampus yang otoriter, serta tidak berpihak kepada kepentingan mahasiswa. Ketiga, terjebak dalam etika heteronom. Yang dimaksud dalam hal ini adalah terkait dengan motivasi suatu tindakan serta gagasan oleh gerakan mahasiswa, bukan karena rasa kewajiban untuk menegakan kebenaran, akan tetapi lebih banyak didominasi oleh motivasi pragmatis dalam berbagai bentuk pamrih. Selain itu, ada hal lain juga yang menurut saya turut menciptakan kelelahan idealisme. Adalah minimnya kesadaran kritis mahasiswa, akibatnya mahasiswa terseret arus yang begitu kuat yang berada diluar diri kita, yakni kapitalisme global yang hadir dalam bentuk kesenangan semu (hedonisme). Maka di sinilah peran lembaga-lembaga kemahasiswaan dibutuhkan. Lembaga mahasiswa harus mampu menginternalisasi nilai kearifan guna merangsang kesadaran kritis.
C. Borjuis imut-imut
Menjadi pengurus lembaga mahasiswa adalah sebuah pilihan sekaligus panggilan moral. Tidak semua orang mampu melakoninya, apalagi mengahiri pilihannya tersebut dengan indah dan penuh prestasi. Menjadi pengurus lembaga kemahasiswaan harus siap (mental) menerima kritikan. Sebab kalau tidak, mereka akan dilindas oleh kekerdilan jiwa mereka sendiri. Adalah menjadi hal yang lumrah jika mereka teramat dekat dengan pengambil kebijakan kampus. Namun yang menjadi masalah jika kedekatan itu terjalin karena hitung-hitungan pragmatis, maka bersiap-siaplah dicap sebagai penjilat. Pengurus lembaga kemahasiswaan terkadang menjadi tersanjung bila dipanggil rapat di tempat-tempat mewah, tanpa harus menganalisa lebih awal, ada apa di balik itu semua. Bukankah di kampus kita diajak berpikir kritis?
Ada fenomena menarik yang terjadi di kalangan pengurus-pengurus lembaga kemahasiswaan kita akhir-akhir ini. Sebut saja kebiasaan dari sebahagian mereka dalam menyelesaikan atau perbincangan tentang kemahasiswaan justru terbangnun dari kafe-kafe. Hal ini mengingatkan saya pada saat pemilu raya tahun lalu, dimana negosiasi politik lebih banyak terbangun dari kafe-kafe. Hal ini tidak salah, namun yang menjadi masalah jika wacana kemahasiswaan terlalu sering didiskusikan di kafe-kafe yang cenderung bernuansa remang-remang, maka wacananya pun menjadi bersifat elitis. Jadi, praktis yang paham tentang isu-isu kemahasiswaan adalah hanya para pengurus lembaga. Fenomena-fenomena tersebut di atas (meminjam istilahnya Alwi Rahman) yang ditengarai sebagai perilaku borjuis imut-imut di kalangan mahasiswa.
Fenomena lain adalah matinya kelompok-kelompok diskusi di kalangan mahasiswa. Anehnya, justru yang muncul adalah kelompok-kelompok gosip. Bahkan gosip sekarang tidak lagi lakon tunggal si mahasiswi (baca:perempuan) akan tetapi juga menjangkiti si mahasiswa (baca:laki-laki). Tema-tema gosippun beragam. Misalnya saja, apa merek ponsel? apa merek bedak dan gincu?, tipe cowok/cewek idaman, artis idola, apa merek jeansmu? atau malam mingguan nongkrong di mana?. Bahkan majalah-majalah mode dan remaja menjadi dominan mengisi tas mereka ketimbang buku bacaan yang mencerdaskan. Hal-hal tersebut seolah menjadi pembenaran atas kelelahan (baca:ke-bete’an) intelektual kita dalam membaca realitas. Kita menjadi bangga ketika kita memamerkan tipe HP keluaran terbaru atau merek-merek baju dan parfum terkenal. Atau sekedar memamerkan bagian-bagian tubuh hingga membentuk cetakan dan lekukan yang sebenarnya tidak pantas untuk dipamerkan. Kondisi seperti ini, membuat mereka seperti sedang mengalami puncak kenikmatan. Sepertinya (bagi mereka) hal tersebut terlalu mubadzir untuk tidak dilakoni. Fenomena-fenomena ini juga ditengarai sebagai perilaku borjuis imut-imut di kalangan mahasiswa.
D. Terjebak Arus Primordial
Seperti yang telah saya sebutkan di atas, bahwa salah satu perilaku primordial yang dominan mewarnai interaksi kemahasiswaan kita adalah ego fakultas. Ruang dilaetika antara sesama lembaga kemahasiswaan justru hampir tidak menemukan ruangnya. Sehingga menyebabkan munculnya jurang pembatas antara fakultas yang satu dengan yang lainnya teramat jauh. Boleh jadi hal ini muncul dari ruang pengkaderan kita yang cenderung fakultatif serta doktrin fakultas yang teramat kebablasan. Bukankah kita berada dalam ruang universal yang disebut dengan Universitas?. Oleh karenanya, kenapa kita tidak mencoba membangun sebuah metode pengkaderan yang menghargai universalitas? Sehingga dengan demikian melahirkan kebersamaan, serta menghargai perbedaan. Selain itu juga, persoalan pelik yang menimpa lembaga-lembaga kemahasiswaan kita adalah terlalu berlama-lama pada permasalahan internal. Bahkan yang lebih menyedihkan lagi adalah kelompok-kelompok pergerakan justru gagal menemukan titik temu dalam membangun wacana gerakan. Kelompok-kelompok mahasiswa ini justru cenderung saling ’membid’ahkan’. Mereka merasa paling benar sendiri dan merasa kelompoknyalah yang paling ideal. Maka jadilah kebenaran itu hanyalah milik sah kelompok mereka (klaim kebenaran tunggal). Bukankah kebenaran itu banyak sisinya?. Mereka yang merasa benar sendiri tidak akan mampu melahirkan perubahan yang signifikan. Justru yang terjadi adalah gerakan yang mereka bangun adalah gerakan yang kesepian. Maka hampir dipastikan bahwa kelompok mahasiswa seperti inilah yang akan menghancurkan lembaga-lembaga kemahasiswaan kita.

BAB III
PENUTUP



Adapun kesimpulan dari makalah ini yaitu:
a. Modal dan strategi dasar yang harus dimiliki mahasiswa yang merasa menjadi aktifis pergerakan yaitu: jaga prestasi akademik, madzab, benih-benih entrepreneurship harus dipupuk sejak masa mahasiswa, konsistensi perdjoeangan adalah kekuatan karakter aktifis mahasiswa, public speaking dan leadership, opini lewat tulisan.
b. Lembaga mahasiswa harus mampu menginternalisasi nilai kearifan guna merangsang kesadaran kritis.
c. Menjadi pengurus lembaga mahasiswa adalah sebuah pilihan sekaligus panggilan moral. Tidak semua orang mampu melakoninya, apalagi mengahiri pilihannya tersebut dengan indah dan penuh prestasi. Menjadi pengurus lembaga kemahasiswaan harus siap (mental) menerima kritikan. Sebab kalau tidak, mereka akan dilindas oleh kekerdilan jiwa mereka sendiri.

0 Response to "Lembaga Kemahasiswaan dan Pergerakannya"

Posting Komentar